简体中文
繁體中文
English
Pусский
日本語
ภาษาไทย
Tiếng Việt
Bahasa Indonesia
Español
हिन्दी
Filippiiniläinen
Français
Deutsch
Português
Türkçe
한국어
العربية
Ikhtisar:Hak atas fotoGetty ImagesImage caption Joko Widodo dan Prabowo Subianto disebutkan memiliki strategi
Hak atas fotoGetty ImagesImage caption Joko Widodo dan Prabowo Subianto disebutkan memiliki strategi oleh tim buzzer yang berbeda.
Ketika calon presiden Prabowo Subianto diidentikkan oleh lawan politiknya di dunia maya sebagai pemimpin otoriter, apa yang dilakukan tim media sosial atau buzzer pendukungnya?
Koordinator Relawan Prabowo-Sandi Digital Team (Pride), Anthony Leong, mengatakan untuk menjawab sebutan itu, tim media sosial menampilkan pidato Prabowo yang penuh canda di dunia maya.
“Bisa googling, bagaimana guyonan Prabowo bisa memukau pendukungnya,” kata Anthony kepada BBC News Indonesia, Selasa (26/03).
Anthony tak menampik publik masih mengidentifikasi Prabowo sebagai sosok otoriter, sehingga tim media sosial atau buzzer berupaya menampilkan New Prabowo yang lembut dan humanis.
“Kita memberi edukasi ke publik untuk lebih tahu rekam jejak calon pemimpin,” lanjutnya.
Situs Skandal Sandiaga Uno dan perempuan di pusaran kampanye hitam
Purnawirawan TNI akan adukan Saracen ke Mabes Polri
SARA dan hoaks: mengapa bisa begitu laku sebagai komoditi politik?
Hak atas fotoANTARA/SIGID KURNIAWANImage caption Prabowo dan Joko Widodo.
Langkah yang sama juga dilakukan ketika beredar informasi penolakan publik di sejumlah daerah terhadap calon Wakil Presiden Sandiaga Uno.
Anthony dan timnya menampilkan gambaran atau video di jejaring sosial yang memperlihatkan Sandy menebar senyum dan menyalami mereka yang menolak.
Anthony mengklaim strategi tim medsos Badan Pemenangan Nasional Prabowo Sandi lebih banyak mengusung isu eknonomi dan tidak menggunakan isu SARA.
Tentang siapa yang dilibatkan dalam tim buzzer kubunya, Anthony menyatakan kebanyakan melibatkan apa yang disebutnya kalangan “akar rumput” yang diklaimnya “makin banyak”.
Bagaimana strategi tim buzzer Jokowi?
Lantas, bagaimana strategi tim buzzer calon presiden Joko Widodo? Direktur Media Sosial Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Makruf Amin, Arya Sinulingga mengaku tim media sosial - termasuk para buzzer - masih melanjutkan “pekerjaan lama”.
Hak atas fotoANTARA/SIGID KURNIAWANImage caption Saat Prabowo dianggap otoriter, timnya berupaya mengubah pandangan itu.
Pekerjaan lama itu adalah menghalau fitnah anti-Islam, isu komunis, dan kriminalisasi ulama yang ditujukan kepada Joko Widodo, katanya.
“Karena masih banyak yang begitu dan masih banyak percaya, jadi kami harus menghadang itu,” kata Arya kepada Arin Swandarin untuk BBC News Indonesia, Selasa (26/03).
Dalam berbagai kesempatan, Joko Widodo langsung turun tangan untuk menghalau tudingan tersebut, tambahnya.
Arya menambahkan, tujuan utama TKN di media sosial adalah menggaet pemilih. “Termasuk dengan menggunakan tagar yang disesuaikan dengan aktivitas Jokowi,” ujarnya.
Menurut Arya, upaya menangkal berbagai fitnah itu menjadi tugas buzzer di berbagai daerah yang mencapai 50 orang di setiap provinsi.
Hak atas fotoMARTIN H. SIMON-POOL/GETTYIMAGESImage caption Kubu Jokowi disebut pengamat media sosial Ismail Fahmi lebih terstruktur.
“Tujuannya kan menggaet pemilih, Pak Jokowi ke mana, dia bikin program kita bikin tagar, misalnya hari ini Jokowi mencintai Aceh, begitu cara kita menggaet pemilih, bukan menghantam,” Arya mengklaim.
Dikatakannya, apabila ada serangan muncul atas capresnya, maka tanggapannya justru datang dari publik. “Yang menyatakan dukungannya secara terbuka dan biasanya isunya cepat hilang,” katanya.
Arya mencontohkan buzzer yang dimainkan timnya saat debat. “Kalau di debat itu kita pasti bersatu dan menang, karena kita tujuannya menggaet pemilih,” katanya lagi.
Apa perbedaan strategi buzzer kubu Jokowi dan Prabowo?
Pengamat media sosial, Ismail Fahmi, menandai apa yang disebutnya sebagai perbedaan kubu Jokowi-Prabowo dalam menggerakkan buzzer di media sosial.
Kubu Jokowi, menurut Ismail, bermain sangat terstruktur serta memiliki banyak tim yang tersebar di kelompok relawan.
“Ada tim Cakra, ada tim Bravo, Gojo, Projo, dan lain-lain, mereka bekerja sendiri dengan pendanaan sendiri, goalnya mempromosikan Jokowi,” katanya kepada Arin Swandari untuk BBC News Indonesia, Selasa (26/03).
Hak atas fotoBAY ISMOYO/AFPImage caption Pasangan capres dan cawapres, Prabowo-Sandiaga Uno dan Joko Widodo serta Ma'ruf Amin.
Mereka, kata Ismail, bekerja professional dan penuh perencanaan.
“Makanya kadang-kadang isunya sangat bagus, (Capres) 01 terstruktur, meme-nya bagus, selalu ada video, infografisnya bagus” lanjutnya.
Sementara, kubu Prabowo, menurutnya, memilliki tim internal BPN yang bertugas menyebarkan informasi resmi.
“Tapi di luar itu ada tim besar banget, yang mereka bergerak berdasarkan isu sporadis yang muncul saat itu,” papar Ismail.
Ia mencontohkan isu Bukalapak yang langsung disambut para buzzer 02 dengan sangat sigap.
“Hanya dalam hitungan menit, tokoh mereka misalnya, Raja Purwa, influencer dan Buzzer sekaligus, itu dengan sendirinya akan diikuti secara tak terstruktur oleh (pendukung 02) mereka tinggal follow, retweet saja,” paparnya.
'Modal tagar dan obrolan keseharian'
Menurut Ismail, para buzzer di Capres 02 sangat mudah digerakkan dan mereka menggunakan obrolan sehari-hari.
“Mereka ngobrol dengan bahasa sehari-hari dengan ditambah tagar,” lanjutnya.
Artinya antara konten yang disampaikan dan tagar yang dipakai, kerap tidak nyambung, katanya menganalisa.
Hak atas fotoSONNY TUMBELAKA/AFPImage caption Pengamat menyebut, pendukung Prabowo tak punya materi dan mengandalkan tagar, sehingga tampak riuh di media sosial.
Mereka nyaris tidak punya materi hanya mengandalkan tagar, tambahnya. Namun, cara ini disebutnya justru menjadi kekuatan pendukung 02, sehingga mereka tampak lebih riuh di dunia maya.
“Membahas apapun tinggal ditambah tagar itu,” ujar Ismail.
'Terlalu banyak materi yang diproduksi'
Sebaliknya pada kubu 01, terlalu banyak materi yang diproduksi, sehingga kata Ismail, timnya kewalahan untuk menyebarkannya dan menjadikannya viral.
Menurutnya, kondisi ini kadang diatasi dengan menggunakan akun robot. “Setelah trending baru orang-orang pendukung ngikut,” katanya.
Tentang isu yang diangkat menurut Ismail, berdasarkan risetnya terhadap trending dalam tiga bulan terakhir, kubu Prabowo sudah meninggalkan isu anti-Islam, PKI, Pro-Tionghhoa, dan kriminalisasi ulama.
Namun, perbincangan yang sama tetap digunakan oleh kubu Jokowi, dengan tujuan untuk membantah isu tudingan tersebut.
Hak atas fotoJAAP ARRIENS/NURPHOTO VIA GETTY IMAGESImage caption Kubu 02 menyerang Jokowi dengan diksi janji dan bohong kata pengamat.
Kubu 02, kata dia, 'menyerang' Joko Widodo dengan diksi “janji” dan “bohong”.
Menurutnya, kedua diksi itu mendominasi 50% perbincangan pendukung Prabowo Sandi di media sosial.
“Maknanya kan soal kinerja, Pada saat 2014 menjanjikan sesuatu hasilnya bagaimana?” papar Ismail.
Hak atas fotoAnton Raharjo/NurPhoto via Getty ImageImage caption Menurut pengamat, kubuPrabowo akan terus 'menyerang' Joko Widodo dengan diksi tentang “janji” dan “bohong” terkait kebijakannya selama ini.
Berikutnya adalah isu tentang tenaga kerja Cina yang terus digaungkan. Ia menduga isu yang sama akan tetap diangkat sampai Pilpres tiba.
Sementara kubu 01 masih akan menggunakan narasi melawan hoaks dan fitnah, katanya.
Dikatakannya, isu HAM yang menjadi kelemahan kubu 02 bahkan kurang tersiar di publik akibat pilihan narasi melawan hoaks yang terus dipertahankan kubu Jokowi.
Apakah perang di jagad maya berdampak pada elektoral?
Direktur Bidang Media dan Komunikasi Tim Prabowo, Sandy Anthony Leong, menyebut makin banyak akar rumput yang teredukasi tentang calon pemimpin yang mereka jagokan Prabowo-Sandi di media sosial.
“Pilpres 2019 ini masyarakat makin dewasa,” katanya.
Sementara, Direktur Media Sosial Tim Kampanye Nasional dari calon presiden 02 Joko Widodo-Makruf Amin, Arya Sinulingga, menyebut kampanye media sosial telah membantu kerja tim kampanye, khususnya sebelum jadwal kampanye terbuka dalam rapat-rapat umum dan kampanye media masa.
Hak atas fotoBarcroft Media/Getty ImagesImage caption Tim TKN menyebut kampanye media sosial telah membantu kerja tim kampanye.
“Kita mengejar 60-70% di sosial media, sebelum kampanye terbuka,” lanjutnya.
TKN mengaku tim memiliki sarana untuk mengukur tanggapan positif terhadap Jokowi.
“Kita juga mengukur kalau Jokowi bicara program, tanggapan positif atau negatif,” lanjutnya.
Namun Arya mengakui kini pengaruhnya makin menipis karena sudah mendekati angka kestabilan.
“Awal-awal kenaikan sangat tinggi, sekarang mendapat kenaikan 1% beratnya bukan main,” lanjutnya. Arya mencotohkan kampanye media sosial dengam #Jokowi mencintaAceh misalnya, paling banter menaikkan 0,1 persen.
'Narasi yang dikembangkan tak mengubah pilihan orang'
Peneliti Lembaga SMRC Saidiman Ahmad berpendapat peran buzzer tidak terlalu besar mendulang suara.
“Buzzer paling banyak di Twitter, penggunanya 5% dari populasi, jadi ya scope-nya hanya di 5% itu,” katanya.
Media sosial lain seperti Whatsap dan Facebook juga diyakini Saidiman tidak banyak berpengaruh.
Hak atas foto Aditya Irawan/NurPhoto via Getty ImagesImage caption Di Pilpres, kampanye media sosial kelompok 02 lebih riuh, namun dalam survei hasilnya kubu 01 lebih unggul.
Katanya, yang menjadi follower para buzzer dan memperbincangkan isu serta percaya pada isu adalah para pendukung.
Artinya, narasi yang dimainkan tidak mengubah pilihan orang. Para buzzer bergerak di ruang terbatas. “Mereka berbicara di kalangan audiens-nya sendiri.”
Saidiman mencontohkan bukti partai yang paling riuh di twitter dan media sosial lain, seperti PSI dan PKS, tapi berdasarkan hasil survei di lapangan suaranya rendah.
Di Pilpres, kampanye media sosial kelompok 02 lebih riuh, namun dalam survei hasilnya kubu 01 lebih unggul.
“Ada pengaruh tapi tidak sebesar yang dibayangkan orang,” kata Saidiman Ahmad.
Disclaimer:
Pandangan dalam artikel ini hanya mewakili pandangan pribadi penulis dan bukan merupakan saran investasi untuk platform ini. Platform ini tidak menjamin keakuratan, kelengkapan dan ketepatan waktu informasi artikel, juga tidak bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh penggunaan atau kepercayaan informasi artikel.