简体中文
繁體中文
English
Pусский
日本語
ภาษาไทย
Tiếng Việt
Bahasa Indonesia
Español
हिन्दी
Filippiiniläinen
Français
Deutsch
Português
Türkçe
한국어
العربية
Ikhtisar:Hak atas fotoBumilangit StudiosSutradara dan produser film Gundala mereka ulang sosok pahlawan super
Hak atas fotoBumilangit Studios
Sutradara dan produser film Gundala mereka ulang sosok pahlawan super klasik Indonesia untuk penonton modern — dengan berfokus pada manusia di balik topengnya.
Film terbaru Joko Anwar menjadi upaya kedua untuk mengadaptasi karakter komik rekaan Harya Suraminata (Hasmi) ini ke layar perak.
Gundala Putra Petir (1981) – dibintangi Teddy Purba, Anna Tairas, dan Agus Melasz – merupakan adaptasi langsung dari cerita bergambar (cergam) berjudul sama yang populer di kalangan anak-anak Indonesia pada tahun 1970-an.
Namun di film terbaru, yang hanya diberi judul Gundala, sutradara Joko Anwar dan produser Bismarka Kurniawan mengambil pendekatan berbeda dengan menekankan pada karakter Sancaka, identitas rahasia sang jagoan yang kali ini diperankan oleh Abimana Aryasatya.
Kepada BBC News Indonesia, Joko Anwar mengatakan bahwa Gundala adalah film yang “membumi”, yang bermakna karakter, cerita, dan latarnya dibuat lebih mirip dengan dunia nyata.
Itu berarti kondisi sosial-politik masyarakat Indonesia saat ini.
Bumi Manusia: Film adaptasi dari buku Pramoedya Ananta Toer yang pernah dilarang
John Wick 3: Keanu Reeves puji pesilat Cecep Arif Rahman dan Yayan Ruhian 'luar biasa'
Film Avengers yang 'bersaing' dengan film-film Indonesia
“Kita berpikir bahwa jika kita membuat Gundala ini bisa merefleksikan masyarakat Indonesia, Indonesia sekarang secara sosial-politik seperti apa, mungkin menjadi film yang lebih dekat ke orang Indonesia,” kata Joko.
Ia menjelaskan, pendekatan baru ini diambil supaya karakter Gundala bisa dipahami para penonton Indonesia masa kini yang umumnya belum akrab dengan komiknya, sekaligus membedakan Gundala dari para superhero yang sekarang merajai bioskop.
Selain itu, Joko menambahkan, film terbaru ini tidak berfokus pada cerita-cerita fantastis tapi pada penokohan Gundala sebagai sosok patriot — sosok yang menurutnya kini langka di Indonesia.
“Dia mewakili kerinduan rakyat Indonesia untuk sosok yang bukan saja dekat dengan masyarakat... tapi dia juga adalah seorang patriot, artinya seseorang yang mementingkan orang banyak ketimbang diri sendiri. Dan itu salah satu sifat yang saya rasa jarang ya di Indonesia,” tuturnya.
Hak atas fotoRafiuddin Abdul Rahman/AntarafotoImage caption
Joko Anwar mengatakan bahwa Gundala adalah film yang “membumi” — mencerminkan situasi sosial-politik Indonesia saat ini.
Campur tangan Hasmi
Bismarka Kurniawan, produser film Gundala, mengatakan versi modern dari tokoh jagoan super klasik itu sudah digagas jauh sebelum bertemu dengan Joko Anwar. Bismarka adalah presiden direktur Bumilangit, pemegang hak cipta karakter Gundala.
Ia menceritakan bahwa pada awal tahun 2000-an, Hasmi berpikir untuk memperkenalkan kembali Gundala dan membuat ceritanya lebih relevan dengan kids zaman now.
“Waktu itu kita sepakat dengan Pak Hasmi untuk menciptakan Gundala lagi dengan konteks zaman sekarang, dan kita membuat style guide (pedoman gaya). Jadi kita tentukan, misalnya, tinggi badan, berat badan, asal-usulnya, dan setting yang lebih mendekati zaman sekarang,” ungkapnya kepada BBC News Indonesia.
Bismarka menjelaskan bahwa Gundala modern lahir dari catatan-catatan Hasmi yang kemudian dikembangkan dan disempurnakan oleh Joko Anwar.
Inspirasi Gundala versi modern ini sama dengan versi klasiknya, yaitu pewayangan dan mitologi Jawa.
Karena itu ia menepis kritik yang menuding Gundala sebagai karakter jiplakan superhero Barat. Ia mengatakan, film Gundala akan merefleksikan legenda, mitos, dan sejarah Indonesia. “Kita mengangkat setting yang sangat lokal,” ujarnya.
Lebih dari itu, Bismarka ogah bila Gundala disebut sebagai superhero.
“Kami tidak menggunakan istilah superhero, kami menggunakan istilah jagoan sebagai karakterisasi dari sifat kepahlawanan mereka.”
Hak atas fotoPT Serama film corp/WikimediaImage caption
Sebelum Gundala, Rama Superman Indonesia (1974) menjadi superhero pertama yang tampil di layar lebar Indonesia.
Menurut pengamat film Ekky Imanjaya, film-film yang mengangkat jagoan super selalu punya peminatnya sendiri di Indonesia.
Ia menjelaskan bahwa karakter jagoan Indonesia biasanya tampil dalam dua subgenre film — subgenre silat dan subgenre superhero yang terinspirasi oleh Barat.
Subgenre silat mengisahkan seorang pendekar dari dunia persilatan yang biasanya bertarung melawan penjajah, sehingga disebut juga sebagai film kumpeni. Film-film dari subgenre ini antara lain Si Buta dari Gua Hantu (1970) dan Jaka Sembung (1980), yang menjadi populer berkat layar tancap.
Adapun film-film superhero Indonesia, kata Ekky, selalu memuat elemen mistis – misalnya Rama Superman Indonesia (1974), yang dirilis empat tahun sebelum film Superman, menampilkan jagoan yang berubah wujud menggunakan kalung ajaib; atau Darna Ajaib (1980), yang menceritakan kebaikan melawan kejahatan berupa ilmu hitam – atau komedi, seperti Manusia 6.000.000 Dollar (1981) yang dibintangi grup lawak Warkop DKI.
Maka dari itu, Ekky menilai pendekatan realis yang diambil Joko Anwar untuk film Gundala ini merupakan hal baru.
“Saya menduga [Gundala] ini superhero bergaya Dark Knight Trilogy (film Batman arahan Christopher Nolan), berbeda, karena dalam trailer-nya saya tidak melihat ada unsur mistis atau komedi.”
Bisakah membangun jagat sinema?
Film Gundala disebut Joko dan Bismarka sebagai entri pertama di Jagat Sinema Bumilangit (Bumilangit Cinematic Universe, BCU). Langkah ini mengekor Marvel Studios, yang sukses dengan jagat sinemanya Marvel Cinematic Universe (MCU).
Sebelum film Gundala rilis, Bumilangit telah mengumumkan tujuh film berikutnya yang berlatar di BCU. Berbagai aktor kondang telah diumumkan sebagai bintang utamanya antara lain Chicco Jerikho sebagai Godam, Pevita Pearce sebagai Sri Asih, Chelsea Islan sebagai Tira, dan Tara Basro sebagai Merpati.
Hak cipta gambar @bumilangitcom@bumilangitcom
Hak cipta gambar @bumilangitcom@bumilangitcom
Pengamat film Ekky Imanjaya menilai bahwa membangun jagat sinema bakal menjadi tantangan tersendiri bagi Bumilangit.
Pasalnya, kesuksesan jagat sinema seperti MCU ditunjang oleh industri komik yang telah terlebih dahulu mempopulerkan karakter-karakter seperti Iron Man, Captain America, dan Spider-Man. Sementara para jagoan Bumilangit kini tidak sepopuler pada masa kejayaan komik Indonesia dua dekade yang lalu.
“Effort-nya harus lebih... Belum tentu anak milenial zaman sekarang kenal Sri Asih, Godam, Aquanus. Saya enggak yakin banyak orang yang tahu,” kata Ekky.
Karena itu film Gundala ini akan menjadi “taruhan” bagi suksesnya Jagat Sinema Bumilangit, menurut Ekky. Ia memperkirakan jika Gundala bisa mengumpulkan setidaknya dua juta penonton, ada jaminan kalau film berikutnya kemungkinan besar akan laku.
Ini bukan hal mudah meskipun Gundala adalah tokoh yang paling terkenal di antara jagoan Bumilangit lainnya — mengingat Wiro Sableng 212 (2018), film pendekar yang diangkat dari serial novel silat populer, tidak tembus dua juta penonton.
Tapi di hadapan tantangan tersebut, Presdir Bumilangit Bismarka Kurniawan tetap optimistis dengan proyek ambisiusnya.
“Saya rasa ini bukan apakah film itu mengenai apa ya... Tapi lebih ke arah bagaimana suatu karya perfilman itu dibuat, dari cerita, dari teknik fotografi, musik, dialog, yang saya pikir lebih menentukan apakah film itu diterima oleh masyarakat,” kata Bismarka.
Belajar dari MCU, dan dari kegagalan studio-studio lain yang berikhtiar membentuk jagat sinema, Bismarka menekankan pentingnya membuat rencana sejak awal yang diarahkan oleh satu penutur cerita utama. Untuk itu, ia mendapuk Joko Anwar sebagai produser kreatif Jagat Sinema Bumilangit.
“Kami berharap nanti penonton, dengan diumumkannya jagat Bumilangit, mereka mengerti bahwa ini bagian dari suatu perjalanan baru,” tutur Bismarka.
“Bersama dengan Joko Anwar, dia yang memplotkan semuanya sampai akhir tahun 2025 — jagoan mana yang muncul, musuh mana yang muncul, situasi apa yang dipakai, itu sudah ditentukan dari awal.”
Image caption
Karakter Gundala pertama kali muncul dalam komik buatan Hasmi yang terbit pada tahun 1969.
Siapa Gundala?
Gundala adalah tokoh rekaan Harya Suraminata (Hasmi) yang pertama kali muncul dalam komik Gundala Putra Petir yang diterbitkan PT Kencana Agung pada tahun 1969. Sesuai julukannya, Gundala memiliki kekuatan menembakkan petir dari telapak tangannya. Ia juga bisa berlari secepat angin topan.
Gundala mengenakan celana bokser merah ala Superman dan ornamen sayap di bagian telinga topengnya, yang mengingatkan pada desain The Flash, sehingga kerap dituding sebagai karakter jiplakan superhero Amerika.
Tapi inspirasi untuk karakter Gundala sebenarnya sangat lokal, kata Andy Wijaya, kolektor komik dan kawan mendiang Hasmi.
Tokoh itu terinspirasi dari legenda Ki Ageng Selo, yang konon mampu menangkap petir. Nama Sancaka, identitas asli Gundala, pun diambil dari tokoh pewayangan yaitu anak dari Kresna dalam epos Mahabharata.
Andy menjelaskan bahwa ketika Hasmi dan rekannya, Wid NS, merintis karier sebagai kreator komik, referensi mereka bukanlah komik-komik Amerika melainkan komik-komik strip dari King Features Syndicate yang dimuat di banyak surat kabar kala itu.
Karakter yang populer dari komik-komik tersebut antara lain The Phantom dan Flash Gordon.
“Komik yang disukai Pak Hasmi itu sebetulnya komiknya John Prentice, Dan Barry... komik Prince Valiant. Itu sebelum Marvel,” ujarnya. “Komik Marvel atau DC itu mahal saat itu, dan belum diterjemahkan.”
Kolektor komik Indonesia, Henry Ismono mengatakan dalam pengantar edisi remaster komik Gundala Putra Petir, kostum Gundala yang berwarna merah dan hitam terinspirasi dari warna Partai Nasional Indonesia (PNI).
“Ia memang tidak masuk dalam partai, tapi bergaul dengan komunitas partai tersebut,” kata Henry.
Namun sejatinya, Gundala bukanlah jagoan berkekuatan super pertama yang tampil di panel-panel komik Indonesia.
Sebelumnya, pada tahun 1954, Raden Ahmad Kosasih – dikenang sebagai Bapak Komik Indonesia – menciptakan karakter Sri Asih, yang terinspirasi dari Wonder Woman namun berlatar cerita pewayangan. Pada kurun yang sama, Johnlo juga membuat jagoan Garuda Putih dan Putri Bintang.
Disclaimer:
Pandangan dalam artikel ini hanya mewakili pandangan pribadi penulis dan bukan merupakan saran investasi untuk platform ini. Platform ini tidak menjamin keakuratan, kelengkapan dan ketepatan waktu informasi artikel, juga tidak bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh penggunaan atau kepercayaan informasi artikel.