简体中文
繁體中文
English
Pусский
日本語
ภาษาไทย
Tiếng Việt
Bahasa Indonesia
Español
हिन्दी
Filippiiniläinen
Français
Deutsch
Português
Türkçe
한국어
العربية
Ikhtisar:Hak atas fotoGetty ImagesImage caption Masyarakat Jepang memiliki ungkapan khas yang merujuk penyera
Hak atas fotoGetty ImagesImage caption Masyarakat Jepang memiliki ungkapan khas yang merujuk penyerahan diri terhadap takdir.
“Shou ga nai” adalah ungkapan dalam bahasa Jepang yang di satu sisi secara menyiratkan takdir menyedihkan, tapi anehnya, seperti langgam bahasa lain, juga membebaskan sang penutur dari beban berat.
Terkadang kemalangan terjadi: terjebak dalam lalu lintas sehingga terlambat tiba di kantor, kehilangan dompet, atau membuat penyok pintu mobil.
Banyak orang akan meledak akibat situasi itu, meneriakkan kata-kata cabul hingga menguras tenaga untuk memecahkan persoalan.
Namun di Jepang, sebuah ungkapan dengan beragam arti mungkin dapat kerap terdengar: shou ga nai.
Frasa itu, yang dalam bentuk lebih formal adalah shikata ga nai, sering diucapkan dalam kondisi negatif. Ungkapan tersebut tak memberi Anda pilihan, selain mengatasi masalah yang ada.
Terjemahan bebas ungkapan itu adalah 'ini tak dapat dihindari'.
Apakah laki-laki muda kini semakin jarang berhubungan seks?
Kajian psikologi: 'Rahasia' mencapai kreativitas tertinggi
Survei global: Warga Paraguay paling bahagia, Indonesia peringkat kelima
Rochelle Kopp berkali-kali berhadapan dengan ungkapan itu. Ia adalah konsultan yang membantu perusahaan asing dan Jepang mengembangkan sistem komunikasi yang lebih baik.
Saat bekerja untuk perusahaan Jepang, “rekan kerja saya dimutasi dalam waktu singkat, sering kali dalam momentum yang tidak tepat,” ujarnya.
Lalu apa respons rekan Kopp? Shou ga nai.
“Saya sadar bahwa kemungkinan perubahan atas situasi yang ada sama seperti peluang saya menghentikan bumi berputar,” kata Kopp.
Dalam situasi itu, Kopp merasa bahwa dari sudut pandang tradisi Amerika Serikat, orang-orang terdengar putus asa saat mereka seharusnya berjuang keras.
Namun ungkapan itu ternyata bukan dimiliki Jepang saja. Pernyataan itu mengekspresikan emosi yang universal, kata Miyako Inoue, guru besar antropologi di Universitas Stanford.
“Dalam kehidupan sehari-hari Amerika misalnya, saya mendengar orang mengungkapkan perasaan yang sama. 'Yang terjadi, terjadilah,' atau 'Terima saja, ayo beranjak dari masalah ini,',” kata Inoue.
Ungkapan dan perasaan yang ada di baliknya memunculkan sejumlah pertanyaan menarik.
Adakah hal berguna dari kalimat seperti shou ga nai? Adakah kelegaan saat menerima situasi yang membuat frustrasi, selain upaya konstan mengatasinya?
Hak atas fotoGetty ImagesImage caption Kemacetan lalu lintas dan antrean panjang adalah saat-saat Anda mengucapkan 'shou ga nai' atau ungkapan sejenis dalam bahasa lain. Konsep universal
Terdapat beberapa ungkapan yang mirip shou ga nai di berbagai tradisi di dunia. Inggris misalnya, memiliki frase 'It is what it is'.
'C'est la vie' adalah ungkapan serupa di Prancis. Sementara itu, 'þetta reddast' juga mempunyai nuansa yang sama.
Masing-masing ungkapan tadi mengandung konteks dan nuansa yang unik dari budaya mereka. Tapi satu hal yang sama adalah nuansa penyerahan diri-tahu kapan perlu menerima takdir dan bukan melalwan status quo.
Sejumlah kajian menunjukkan, menerima hak buruk dapat mengurangi kegelisahan. Salah satu contohnya terlihat pada penelitian Universitas Toronto dan Universitas California, Berkeley, tahun 2017.
Mereka menemukan kecenderungan bahwa orang yang rutin merelakan hal buruk terjadi lebih jarang mengalami perasaan negatif. Ini disebut meningkatkan kesehatan mental orang-orang tersebut.
Menerima situasi buruk adalah bagian dari pembingkaian ulang kognisi yang dapat berefek positif. Itu penilian Iris Mauss, asisten profesor psikologi yang terlibat dalam kajian Berkeley.
“Jika Anda meminimalkan dampak psikologi berbagai kejadian yang membuat stres itu, Anda melakukan hal tepat untuk kesehatan Anda,” kata Mauss.
Ketika Anda belajar merelakan suatu hal, “Anda akan lebih merasakan kedamaian, mengerahkan daya untuk mengubah situasi yang sebenarnya dapat diubah.”
Hak atas fotoGetty ImagesImage caption Kehabisan tiket, kehilangan dompet, hingga lupa membawa ponsel adalah pemicu yang sama di seluruh dunia untuk mengungkapkan 'shou ga nai'. Melawan frustrasi
Barangkali penting untuk mundur dari keadaan yang memicu stres dan bertanya pada diri Anda sendiri: apa yang sebenarnya saya pusingkan? Dapatkah saya mengubah keadaan? Jika tidak, mengapa perlu mengatasi tekanan ini? Dan dapatkah ini menjadi strategi jitu melawan frustrasi?
Jawaban dari seluruh pertanyaan ini, menurut pakar, tergantung situasi yang dihadi masing-masing individu.
Jika hanya terjadi sekali dan memicu konsekuensi kecil, menghindari persoalan adalah siasat yang tepat.
Namun jika persoalannya sistemik-misalnya Anda memiliki atasan yang buruk, yang kerap berteriak dan merendahkan martabat, atau berhubungan dengan seseorang yang kasar-Anda harus mencari cara mengatasi masalah itu.
Saran tersebut dikatakan Stephanie Preston, guru besar psikologi di Universitas Michigan.
Perasaan dalam ungkapan ini dianggap mirip dengan fenomena yang dikenal sebagai kekalahan sosial. Mauss berkata, keadaan psikologi itu sering diuji coba melalui medium tikus.
Seekor tikus mungil ditempatkan dalam satu kandang yang sama dengan tikus besar yang agresif. Tikus yang lebih mungil mengalami ketidakberdayaan.
Setelah konfrontasi dengan tikus besar, tikus mungil ini sering menunjukkan perilaku depresi, seperti menerima kenyataan adanya jenjang otoritas nyata di dalam kandang.
Kabar baiknya, manusia dalam banyak kasus dapat bereaksi untuk keluar dari situasi buruk yang sistemik, entah mengundurkan diri pekerjaan yang tak menyenangkan atau meninggalkan kekasih yang kasar.
Namun ini tetap saja bergantung pada konteks persoalan. Beberapa situasi sistemik arangkali memutuhkan daya tahan dan perubahan-Preston meerujuk betapa bear revolusi sosial dapat dimulai.
Tapi bagaimana dengan persoalan sehari-hari seperti kemacetan? Terkadang, lebih baik menerima keadaan dan mengatakan shou ga nai.
Hak atas fotoGetty ImagesImage caption Setiap hari manusia di berbagai belahan dunia menghadapi beragam jenis frustasi.
“Orang-orang menyelesaikan masalah karena itu lebih mudah ketimbang bertahan dalam situasi penuh tekanan,” ujar Sachi Inoue, seorang pakar psikoanalisis yang berpraktek di Berkeley.
Inoue juga merupakan direktur di klinik rawat jalan khusus orang dewasa di San Fransisco.
“Sikap penyerahan diri juga mendorong seseorang untuk lebih memahami diri sendiri dan mengetahui batas diri: kemampuan unik manusia dan itu sangat penting untuk mengelola perasaan baik-baik saja,” kata Inoue.
Inoue berkata, itulah alasan mengapa ungkapan shou ga nai dapat digunakan dalam situasi buruk maupun positif.
Dalam tulisannya untuk GaijinPot, situs populer di kalangan ekspatriat di Jepang, guru bahasa Jepang, Yumi Nakata, menyampaikan keindahan dan beban di balik ungkapan shou ga nai.
Nakata mengisahkan ayahnya yang seorang pegawai, yang pulang ke rumah setalah jam kerja panjang, lalu mengucapkan frase tersebut.
Namun semakin dewasa, pengertian Nakata terhadap ungkapan itu berubah.
“Meski anyak hal tidak dapat kita kontrol, kita dapat menentukan bagaimana kita bereaksi,” tulisnya.
“Dulu saya menolak sama sekali penggunaan ungkapan 'shikata ga nai', tapi kini saya menerima dan mengucapkannya untuk mengontrol respons saya terhadap ketidaknyamanan dan ketidakadilan dalam kehidupan.”
Ini adalah hal yang perlu Anda ingat dalam pikiran, suatu saat nanti, ketika Anda berada dalam antrean lambat yang menjengkelkan.
Anda dapat membaca artikel ini dalam bahasa Inggris dengan judul The fatalistic phrase that every culture hasdiBBC Capital.
Disclaimer:
Pandangan dalam artikel ini hanya mewakili pandangan pribadi penulis dan bukan merupakan saran investasi untuk platform ini. Platform ini tidak menjamin keakuratan, kelengkapan dan ketepatan waktu informasi artikel, juga tidak bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh penggunaan atau kepercayaan informasi artikel.