简体中文
繁體中文
English
Pусский
日本語
ภาษาไทย
Tiếng Việt
Bahasa Indonesia
Español
हिन्दी
Filippiiniläinen
Français
Deutsch
Português
Türkçe
한국어
العربية
Ikhtisar:Ekonom menilai upaya penerbitan uang digital bank sentral merupakan suatu hal yang wajar di tengah kepopuleran uang kripto dan era yang kian terdigitalisasi.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo melontarkan wacana penerbitan Central Bank Digital Currency (CBDC) untuk membendung maraknya penggunaan mata uang kripto seperti bitcoin. Nantinya, kata dia, CBDC akan diedarkan melalui perbankan maupun financial technology (fintech) baik secara wholesale maupun ritel.
Meski demikian, belum ada kejelasan kapan mata uang tersebut dapat digunakan. Pasalnya, hingga saat ini BI masih terus mengkaji berbagai opsi kebijakan agar CDBC bisa diimplementasikan.
“Bersama bank-bank sentral, kami saling studi satu sama lain untuk menyusun dan mengeluarkan, Insyaallah, ke depan Central Bank Digital Currency,” ujarnya dalam acara CNBC Indonesia Market Outlook 2021, Kamis (25/2).
Sejak 2017, pemerintah dan BI memang melarang penggunaan bitcoin dan berbagai mata uang kripto lainnya sebagai alat pembayaran. Keputusan tersebut diambil karena penggunaan uang di luar kendali bank sentral dapat mengganggu stabilitas sistem pembayaran dan berimplikasi pada inflasi yang tak terkendali.
Di samping itu, pelarangan bitcoin juga tak lepas dari dukungan penggunaan mata uang kripto tersebut untuk aktivitas kejahatan seperti terorisme, pencucian uang, atau tindakan asusila.
Namun, bank sentral tampaknya menyadari bahwa pelarangan bitcoin ibarat pekerjaan menjaring angin. Oleh Itu lah, pada awal 2018, BI mulai intensif mengkaji penerbitan mata uang kripto sendiri dalam bentuk CBDC.
Ekonom Universitas Indonesia Telisa Falianty, salah satu pihak yang terlibat dalam kajian akademik mata uang tersebut, mengatakan upaya penerbitan CBDC tak hanya dilakukan Indonesia melainkan juga beberapa negara lain di dunia. Blockchain, teknologi yang mendukung mata uang kripto, disebut-sebut sebagai solusi keuangan digital yang potensial.
Salah salah bank sentral yang telah menerbitkan mata uang digital tersebut adalah People's Bank of China (PBOC). Pada Oktober 2019, PBOC melakukan soft launching penggunaan CBDC yang dilanjutkan dengan piloting untuk transaksi di sektor pertaniannya.
“Sejak China launching akhir 2019, makin meningkat atensi terhadap CBDC ini. Di sisi lain bitcoin kan jadi sangat populer, padahal dia sifatnya sangat volatile dan tidak ada legal tender,” ucapnya saat dihubungi CNNIndonesia.com.
CBDC pun kian diakui keberadaannya oleh beberapa bank sentral di dunia. Pada akhir 2020, misalnya, Bank for International Settlements dan tujuh bank sentral lain termasuk Federal Reserve, European Central Bank dan Bank of England menerbitkan laporan yang memuat sejumlah rekomendasi atas mata uang digital tersebut.
Beberapa di antaranya, CBDC harus aman, semurah mungkin, serta tidak menggantikan uang tunai dan bentuk legal tender lainnya yang dapat merusak stabilitas moneter.
Salah salah bank sentral yang telah menerbitkan mata uang digital tersebut adalah People's Bank of China (PBOC). Pada Oktober 2019, PBOC melakukan soft launching penggunaan CBDC yang dilanjutkan dengan piloting untuk transaksi di sektor pertaniannya.
“Sejak China launching akhir 2019, makin meningkat atensi terhadap CBDC ini. Di sisi lain bitcoin kan jadi sangat populer, padahal dia sifatnya sangat volatile dan tidak ada legal tender,” ucapnya saat dihubungi CNNIndonesia.com.
CBDC pun kian diakui keberadaannya oleh beberapa bank sentral di dunia. Pada akhir 2020, misalnya, Bank for International Settlements dan tujuh bank sentral lain termasuk Federal Reserve, European Central Bank dan Bank of England menerbitkan laporan yang memuat sejumlah rekomendasi atas mata uang digital tersebut.
Beberapa di antaranya, CBDC harus aman, semurah mungkin, serta tidak menggantikan uang tunai dan bentuk legal tender lainnya yang dapat merusak stabilitas moneter.
Kemudian, lanjut Telisa, BI juga harus membuat semacam regulatory sandbox untuk menguji proses bisnis hingga tata kelola penyelenggaraan CBDC. Pasalnya, mata uang kripto bersifat desentralistik dan bakal mengubah landscape perbankan yang selama ini eksis.
“Jadi perbankan harus dipikirkan peranannya. Apakah sebagai peer to peer. Karena kalau model cryptocurrency, kan, langsung enggak butuh third party dan pastinya akan memengaruhi sistem fractional reserve banking,” jelasnya.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam masih mempertanyakan urgensi BI untuk menerbitkan mata uang digital. Sebab belum ada kejelasan seperti apa penerapan mata uang tersebut ke depannya.
“Saya melihat belum jelas BI akan mengeluarkan uang digital untuk mengantisipasi perkembangan uang kripto atau uang digital. Uang digitalnya bank sentral beda konsep dengan uang kripto,” sebutnya.
Menurut Piter, penerbitan CBDC tidak tepat jika BI ingin mengantisipasi atau menahan laju perkembangan uang kripto. Sebab, menurutnya bank sentral tidak bisa mengadopsi mata uang kripto yang sifatnya desentralistik ke dalam CBDC.
“Central bank pasti sentralistik, sementara uang kripto jiwanya desentralistik. Uang digitalnya BI akan berhadapannya dengan uang digital yang sudah eksis sebagai alat pembayaran sekarang ini seperti OVO, Gopay dan sebagainya,” ujar Piter.
Oleh karena itu, ia menyarankan BI sebaiknya tidak merespons peredaran mata uang kripto yang terus berkembang di dalam negeri. “BI sudah melarang uang kripto sebagai alat transaksi. Kenaikan uang kripto sebagai alternatif investasi biarkan saja. Kalau BI mau mengeluarkan digital money lebih untuk mendorong perkembangan uang digital dalam negeri saja,” pungkas Piter.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif sekaligus Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengatakan penerbitan uang digital tersebut mempertimbangkan manfaat efisiensi sistem pembayaran domestik dan keuangan inklusif serta memitigasi shadow banking.
CBDC, menurutnya, juga akan menjadi simbol kedaulatan negara (sovereign currency) yang diterbitkan oleh bank sentral dan menjadi bagian dari kewajiban moneternya. BI sendiri masih terus melakukan kajian untuk melihat potensi dan manfaat uan digital bank sentral ke depan.
Kajian tersebut disesuaikan dengan perkembangan ekonomi Indonesia, begitu juga dengan desain dan mitigasi risiko uang digital tersebut. “BI juga berkoordinasi dengan bank sentral lain termasuk melalui forum internasional untuk bertukar pandangan terkait pendalaman CBDC,” tutur Erwin.
Sumber : CNN
Disclaimer:
Pandangan dalam artikel ini hanya mewakili pandangan pribadi penulis dan bukan merupakan saran investasi untuk platform ini. Platform ini tidak menjamin keakuratan, kelengkapan dan ketepatan waktu informasi artikel, juga tidak bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh penggunaan atau kepercayaan informasi artikel.
Harga Dogecoin kembali meroket dan memecahkan rekor hari ini
Ekonom Universitas Indonesia Telisa Falianty menilai perlu campur tangan bank sentral untuk memitigasi risiko dari kenaikan uang kripto seperti bitcoin.
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mengemukakan aset kripto memang sebuah alat investasi yang relatif baru dan diperkirakan akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan.
Dogecoin dibanderol US$50 miliar atau Rp725 triliun, mengungguli harga mata uang kripto paling populer, yaitu bitcoin.